Rabu, 17 November 2010

Bagaimana Menuangkan Pikiran kedalam Tulisan

Tidak semua orang terlahir sebagai penulis. Sama halnya tidak semua orang berbakat menjadi fisikawan, penyanyi atau astronot. Hanya pada akhirnya kita dituntut mampu menuangkan ide ke dalam bentuk tulisan.
Saya akan memberi sedikit tips bagaimana memancing agar niat menulis itu muncul. Ini hanya bagian pertama dari beberapa artikel saya yang akan mengulas lebih jauh tentang dunia tulis menulis. Kebetulan juga ada beberapa email yang menanyakan bagaimana menulis popular yang baik, menulis di media massa, dan seterusnya. Semoga tulisan berikut sedikit memberi pencerahan.
Memulai
Semua orang bisa menulis. Itu sudah pasti. Bahkan jenis manusia yang mengaku membenci pelajaran bahasa, khususnya mengarang pun sesungguhnya dapat menulis. Tuliskan saja apa yang ada di pikiran, jadilah sebuah tulisan. Masalahnya adalah, ada orang yang merasa tidak sanggup menuangkan ide dan opininya ke dalam kata-kata tertulis. Ketika ia terpaksa melakukannya karena tugas dari atasan atau dosen atau guru, maka jadilah tulisan yang penuh dengan keterpaksaan.
“Saya tidak bisa menulis secara mengalir. Sulit sekali menuangkan ide ini ke susunan-kata-kata lalu dirangkai jadi kalimat. Padahal ide saya bagus sekali,” ungkap seorang teman tentang fantasi dia yang bisa disulap menjadi cerpen.
Lalu saya pancing, “Coba kamu katakan apa ide ceritamu, saya akan mengetiknya.”
Ia pun bertutur. Jadinya adalah:
Seorang anak perempuan yang sejak kecil tidak mengenal orang tuanya karena terpisahkan oleh bencana alam. Ia tinggal bersama orang tua angkat yang ekonominya sederhana tapi mampu menyekolahkannya. Setelah besar secara tak sengaja di Internet dia menemukan informasi bahwa keluarga aslinya mencarinya. Keluarga itu adalah keluarga pengusaha kaya….dan seterusnya.
Selesai bertutur dan saya ketik, si teman membacanya. “Lho, kok jadinya bagus ya? Kalau saya menulisnya langsung, jadinya tidak begini,” ia terkejut memnaca hasilnya.
“Coba kamu pikirkan ide tadi dan mencoba menuliskannya sendiri,” usul saya.
Dia diam agak lama di depan komputer. Mengetikkan beberapa kata, lalu dihapus. Itu terjadi beberapa kali. Akhirnya dia menyerah,”Ngga bisa! Susah sekali menyusun kalimatnya.”
“Tapi kalau berbicara, kamu bisa menyusunnya dengan lancar?” Saya penasaran.
“Ya, kalau saya bicara, berbeda sekali rasanya. Saya tidak perlu stres memikirkan susunan kata-kata dan kalimat, juga tanda baca, dan sejenisnya,” jawab si teman.
“Begini, bagaimana kalau kamu ungkapkan ide itu dengan berbicara sembari mengetikkan langsung di komputer,” saya berusaha mendorongnya.
Dia diam sesaat. Berkomat-kamit di depan komputer. Lalu mulai mengetikkan kata-kata secara perlahan. Jadilah tulisan seperti ini:
“anak perempuan yang terpisah dari orangtuanya sejak kecil dan tidak mengenal orangtuanya karena bencana alam,tapi setelah dewasa dia menemukan fakta bahwa dia adalah anak angkat sebuah keluarga miskin, padhal dia adalah anak pengusaha kaya. Maka muncul kebingungan apakah dia akan menemui keluarganya itu atau tidak padahal dia sudah terlanjur sayang dengan keluarga angkatnya.”
Biasa
Cukup mengalir, hanya tanda baca sama sekali tidak dihiraukan. Ia membuat kalimat panjang tanpa koma. Teman itu merasa kesulitan dalam memenggal kalimat. Kini saya tahu apa masalahnya. Pemilihan katanya juga kurang bervariasi. Namun sebuah kemajuan bahwa ia sudah mampu menuangkan ide ke dalam bentuk tulisan.
Kemudian saya mengarahkan agar ia membuat kalimat yang tidak terlalu panjang. Ibaratkan diri kita sebagai seorang pembaca. Pastinya tidak nyaman jika berhadapan dengan kalimat yang terlalu panjang dan padat, tanpa tanda baca pemenggal sama sekali. Itu sama saja dengan mendengar orang berbicara tanpa jeda.
Kemudian saya merekomendasikan dia meniru gaya tulisan dari bacaan yang sudah ada. Misalnya dari berita ringan saja. Saya ingin agar ia mulai menyesuaikan gaya tulisannya dengan bacaan tersebut. Ia mengangguk-angguk paham. Tapi kembali ketika ia harus menuangkan ide ke dalam tulisan, ia mengalami kesulitan.
“Masak saya harus komat-kamit di depan komputer tiap kali mau menulis? Disangka saya gila, deh. Hehehe. Kayaknya saya tipe orang yang butuh sekretaris ya untuk bisa menulis? Jadi saya tinggal bicara saja dan sekretaris itu yang menulisnya, mengeditnya, semuanya deh. Saya terima beres saja,” ia mengatakan dengan setengah bercanda.
Teman saya itu sejak SD selalu juara 1 di kelas. Nilai matematika, fisika, dan kimia selalu di atas 8. Tapi dia benci setengah mati dengan pelajaran bahasa Indonesia, khususnya tugas mengarang esai.
Mungkin memang ada tipe manusia seperti itu. Sulit menuangkan ide ke dalam tulisan. Tak bisa diragukan bahwa setiap manusia punya bakat keahlian masing-masing. Seorang ahli matematika belum tentu bisa menyanyi dengan baik. Seorang penulis belum tentu dapat mengutak-atik mesin. Seorang pencipta lagu belum tentu bisa bermain basket dengan hebat. Kalau ada manusia yang memiliki beberapa bakat sekaligus, bersyukurlah. Misalnya pemain basket andal yang juga ahli matematika dan pandai berbahasa Inggris. Atau perancang busana yang juga bersuara merdu dan pandai main piano.
Hanya saya rasa untuk menulis standar saja tidak dibutuhkan bakat luar biasa. Menulis yang mampu menuangkan isi pikiran kita, enak dibaca, dan sesuai dengan kaidah bahasa baku. Itu saja. Seorang pakar matematika pun akhirnya harus memiliki kemampuan ini. Itu sebabnya dalam tataran pendidikan formal kita mengenal makalah, paper, skripsi, thesis, dan seterusnya. Bidang ilmu pasti pun menuntut kemampuan menulis dengan adanya metodologi ilmiah.
Apa beda antara menulis untuk keperluan ilmiah dan untuk media massa? Nah, hal itu akan saya bahas dalam artikel saya berikutnya. 



Artikel Yang Terkait:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar